Pasar Modal, Krisis Politik Ekonomi dan Kebijakan

JAKARTA, investor.id - Bagaimana membaca harga saham yang jatuh dan terjungkal dalam beberapa hari ini? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab secara ekonomi politik, sebab faktor yang berpengaruh tidak lain adalah faktor ekonomi politik, yakni gabungan dari ekonomi dan politik.
Biasanya pemerintah baru selalu disambut positif oleh pasar karena pemilihan umum sejatinya adalah penyegaran kepemimpinan. Mayoritas rakyat pemilih mendukung pemerintah baru sebagai kerelaan untuk dipimpin oleh pemimpin yang baru.
Masalah terjadi kalau di atas kertas formal mayoritas mendukung, tetapi proses demokrasinya penuh tekanan, politik uang, dan penyimpangan politik yang memanipulasi rakyat sehingga tidak benar-benar nyata dukungan riilnya. Tapi politik seperti ini adalah yang maksimal dihasilkan oleh suatu sistem pemerintahan dan rakyatnya, yang kemudian diuji dalam perjalanan kepemimpinan dan pemerintahan baru.
Sementara pasar modal adalah alarm atau wake up call terhadap politik dan kebijakan pemerintah. Pertama dan terang benderang, faktor saham yang terjungkal tidak lain adalah faktor politik. Harus dan wajib diingat oleh pemerintah, pemimpin dan pengambil keputusan, lantaran lebih dari dua pertiga dari masalah ekonomi adalah politik. Sebaliknya masalah terbesar dari politik adalah ekonomi.
Semua analis pasti setuju IHSG yang terjungkal kemarin tidak lain karena faktor politik, dimana pasar tidak sreg dan menolak politik ekonomi dan kebijakan yang dilakukan selama ini. Penolakan itu terlihat dari modal yang hengkang dari Indonesia atau memilih instrumen lain yang lebih aman dari pengaruh politik.
Jangan pula menganggap remeh politik TNI yang diolah dan dimasak oleh segelintir orang di dalam kekuasaan, lalu tidak ada hubungan dengan masalah ekonomi. Demokrasi yang dibangun kembali pada masa reformasi setelah jatuh selama 30 tahun dianggap bisa tergelincir dan menjadi trigger kejatuhan demokrasi ke dalam etatisme, militerisme, dwi fungsi dan hal-hal lain yang merusak masa depan demokrasi.
Ekosistem demokrasi sudah rusak semasa Jokowi. Hanya saja, harapan demokrasi bernas lagi di kepemimpinan baru pun tampak suram. Faktor ketidakstabilan ini menjadi trigger pasar menolak dan modal pergi ke tempat lain.
Kondisi IHSG sebagai alarm dan termometer yang mengukur kesehatan ekonomi, memperlihatkan kondisi krisis dengan indeks yang terjungkal dari tahun 2004, 7.163 menjadi 6.146 sekarang, turun lebih dari 11% dalam tiga bulan. Apa yang menyebabkannya? Selain faktor politik, sudah jelas di depan mata adalah kebijakan ekonomi.
Kebijakan pembentukan Danantara yang gegap gempita dan undang-undang disulap DPR dalam waktu 7 hari adalah prestasi dan rekor terhebat di dunia (mungkin juga akhirat). Ide bagus meniru model Temasek, dimana saya sebagai ekonom sangat setuju. Namun ide yang baik kalau dikemas dalam kebijakan yang asal-asalan bisa menjadi bumerang.
Kebijakan ekonomi pembentukan Danantara mengais reaksi pasar yang frontal. Investor asing kabur membawa Rp 24 triliun (dari pasar saham), termasuk Rp 3,47 triliun sehari setelah Danantara diresmikan tanggal 24 Februari 2025.
Apakah proses kebijakan kolektif pemerintah dan DPR seperti ini tidak diperhatikan? Kesalahan ini harus diperbaiki dengan datang ke pasar, bersahabat dengan pasar dan tidak lagi merasa kebijakan yang diluncurkan mendadak lalu akan begitu saja diterima pasar.
Jadi politik, perilaku pemerintah dan kebijakan jelas sebagai biang kerok dari penolakan pasar. Jika dibiarkan bisa menjadi reaksi yang tidak bisa dimaafkan, “vote of no confidence” terhadap pemerintah. Maka dari itu harus diperbaiki, ramah terhadap pasar, datang kepada pasar, dan membuat kebijakan yang pro pasar.
Sudah sangat jelas bahwa panik itu adalah reaksi terhadap kebijakan dan perilaku pengambil keputusan yang melenceng dan tidak dikehendaki oleh pasar. Faktor politik dan atau kebijakan pemerintah dan atau perilakunya adalah faktor utama dalam hal ini.
Kondisi fiskal dan perilaku kebijakan melenceng, agresif kurang berdasar faktual, defisit anggaran melebar, penerimaan pajak seret dan banyak lagi program pemerintah yang menimbulkan ketidakpastian pelaku pasar. Kebijakan terhadap APBN, yang sudah buruk pada pemerintahan sebelumnya, kita melihat dicabik-cabik dengan pola komando, bukan proses demokrasi ekonomi yang transparan, terbuka, dan masuk akal.
Ketidakpercayaan terhadap APBN adalah juga penyebab dari ketidakpercayaan pasar terhadap kebijakan pemerintah. Masalah utang yang dikritik publik selalu mendapat reaksi yang “denials” dan meremehkan masukan-masukan teknokratis dari ekonom, ahli, maupun pengamat. Defisit penerimaan APBN yang diumumkan terlambat juga memperjelas bahwa pengelolaan APBN tidak prudent.
Faktor APBN dan kebijakan fiskalnya sangat penting dicermati. Faktor ini seratus persen adalah politik dan diputuskan secara politik. Pasar melihat kebijakan fiskal yang sekarang dilihat sebagai faktor yang membahayakan. Prosesnya, perilaku politik kebijakannya dan angka-angka yang keluar dari proses kebijakan tersebut, pasar melihat hal ini sebagai ancaman terhadap stabilitas ekonomi makro, termasuk pertumbuhan ekonomi, inflasi dan nilai tukar. Investor memilih menarik diri lebih dini daripada menghadapi resiko besar modalnya ambles.
Sumber masalah sangat jelas dan terang benderang, tinggal pemerintah apakah akan membuka diri untuk perbaikan. Jika tidak, dampaknya jelas, kepercayaan pasar aka terus merosot, investor terganggu untuk investasi di Indonesia. Investor, baik asing maupun domestik, akan bersifat menunggu dan tidak akan investasi dulu (wait and see), yang berarti investasi sementara ini atau ke depan bakal stagnan. Modal yang ada bisa keluar dan menggerus likuiditas, yang pada gilirannya akan menekan rupiah menekan nilai tukar rupiah.
Sektor riil, terutama sektor industri untuk program hilirisasi sudah pasti akan mengkerut untuk mendapatkan dana. Akan terjadi keterbatasan akses pendanaan. Emiten yang berencana menggalang dana melalui pasar modal (IPO, rights issue) kemungkinan menunda aksi korporasi karena valuasi yang melemah. Sektor riil tidak akan mendapat kucuran dana yang cukup.
Apakah bisa mencapai pertumbuhan 8% seperti janji kampanye? Lupakan dulu mimpi ini, pemerintah perlu bergandengan dan berbaik kebijakan dengan pasar.
*) Didik J Rachbini, Guru Besar dan ekonom senior INDEF
Editor: Prisma Ardianto (ardiantoprisma@gmail.com)
Follow Channel Telegram Official kami untuk update artikel-artikel investor.id
FollowBaca Berita Lainnya di Google News
Read NowSaksikan tayangan informasi serta analisis ekonomi, keuangan, dan pasar modal di IDTV